Jumat, 10 Desember 2010

Stratifikasi Sosial

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas penulisan yang berjudul “Stratifikasi sosial”.
Tugas Penulisan tersebut adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di Universitas Gunadarma di Bekasi.
Dalam tugas Penulisan ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan tugas penulisan ini. penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘ ‘Alamiin.




Galih Rakka Siwi





STRATIFIKASI SOSIAL
   Pengertian
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan adanya atau terjadinya kelompok sosial ini maka terbentuklah suatu lapisan masyarakat atau terbentuklah masyarakat yang berstrata.
Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan ini, maka dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan yang dalam pembentukannya mempunyai gejala yang sama.
Istilah Stratifikasi atau Stratification berasaldari kata STRATA atau STRATUM yang berarti lapisan. Karena itu Social Stratification sering diterjemahkan dengan Pelapisan Masyarakat. Sejumlah individu yang mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya. Dikatakan berada dalam suatu lapisan atau stratum.
     Terjadinya Pelapisan Sosial
·         Terjadi Dengan Sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarkat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan bedasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyrakat itu. Tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya.
Oleh karena sifatnya yang tanpa disengaja inilah maka bentuk lapisan dan dasar dari pada pelapisan itu bervariasi menurut tempat. Waktu dan kebudayaan masyarakat di mana sistem itu berlaku.
Pada pelapisan yang terjadi dengan sendirinya, maka kedudukan seseorang pada suatu strata atau pelapisan adalah secara otomatis, misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka, tanah, seseorang yang memiliki bakat seni atau sakti.
·         Terjadi Dengan Disengaja
Sistem pelapisan yang disusun dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Di dalam sistem pelapisan ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Dengan adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaan ini maka didalam organisasi itu terdapat keteraturan sehingga jelas bagi  setiap orang ditempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam suatu organisasi baik secara vertikal maupun secara horizontal.


   Pembedaan Sistem Pelapisan Menurut Sifatnya.
Menurut sifatnya, maka sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi :
a)      Sistem pelapisan masyarakat tertutup
Didalam sistem ini pemindahan anggota masyarakat ke lapisan yang lain baik ke atas maupun kebawah tidak mungkin terjadi, kecuali ada hal-hal istimewa. Didalam sistem yang demikian itu satu-satunya jalan untuk dapat masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Sistem pelapisan tertutup ini kita temui misalnya di india yang masyarakatnya mengenal sistem kasta.
b)     Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka
Didalam sistem yang demikian ini setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk jatuh kelapisan yang ada dibawahnya atau naik ke lapisan yang ada diatasnya. Sistem yang demikian ini dapat kita temukan misalnya di dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini. Setiap orang diberi kesempatan untuk menduduki segala jabatan bila ada kesempatan dan kemampuan untuk itu.

PEMBAHASAN
PERMASALAHAN STRATIFIKASI MASYARAKAT DI TUNGKAK SOROSUTAN DALAM KEADAAN STATUSNYA TERMASUK GOLONGAN BAGIAN BAWAH.
Masyarakat di Tungkak Sorosutan yang memakai sistem pinjam meminjam uang sebagai cara pemenuh kebutuhan. Walaupun minoritas masyarakat disana ada yang tidak memanfaatkan sistem ini sebagai pemenuh kebutuhan. Tetapi pada kenyataannya budaya pinjam meminjam uang ini sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di tungkak sorosutan ini.
Sistem pinjam meminjam yang dipakai mayoritas masyarakat Tungkak Sorosutan ini, secara tidak langsung mendorong peneliti untuk menilik strata sosial masyarakatnya. Strata sosial masyarakat adalah lapisan sosial yang membagi masyarakat berdasar kekayaan,kedudukan,dan kekuasaan menjadi tiga golongan, yaitu :
·         golongan atas yang terdiri atas gololgan orang-orang yang memiliki kekayaan,kedudukan,dan kekuasaan diatas rata-rata orang pada umumnya ;
·         golongan menengah yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kekayaan, kedudukan,dan kekuasaan di atas standar tidak lebih dan tidak kurang ;
·         golongan bawah adalah orang-orang yang tidak memiliki apapun untuk diandalkan atau yang sering disebut sebagai golongan orang-orang miskin.
Dan di Tungkak ini golongan menengah kebawah yang mendominasi. Sehingga kemampuan mereka untuk tidak pinjam meminjam uang sangat kecil. Hal itu karena terbatasnya kemampuan perekonomian masyarakat.
Oleh karena asumsi tentang adanya keterkaitan antara strata sosial masyarakat dengan sistem pinjam meminjam uang , yang kemungkinan antara si pemberi pinjaman melakukan kegiatan itu guna menambah kekayaan. Yang hal itu sangat penting guna mempertahankan status. Pemikiran semacam ini sangat mungkin dipengaruhi paham kapitalisme. Paham kapitalisme mendorong orang untuk menimbun kekayaan, yang salah satu caranya dengan meminjamkan uang dan membuat orang semakin kaya dan secara tidak langsung status mereka di masyarakat pun meningkat . Sedangkan si peminjam melakukan karena dorongan pemenuhan kebutuhan juga karena posisi mereka yang golongan bawah yang sangat kecil mengenyam pendidikan. Sehingga pengetahuan mereka tentang pinjam meminjam itu sangat kecil. Persoalan-persoalan inilah yang menuntut untuk diteliti lebih mendalam.

ANALISIS DAN SOLUSI
            kasus di atas adalah tentang masyarakat di Tungkak Sorosutan yang memakai sistem pinjam meminjam uang sebagai cara pemenuh kebutuhan, budaya pinjam meminjam uang ini sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di tungkak sorosutan ini. Latar belakang terjadinya kasus diatas adalah kehidupan perekonomiannya yang semakin lama semakin meningkat, sangat dibutuhkan dana yang tidak sedikit, baik itu dari penjual maupun pembeli. Masyarakat yang sangat memerlukan dana sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari, tidak jarang memanfaatkan sistem pinjam meminjam. Walaupun kompensasi yang diterima dari meminjam uang itu berupa pengembalian uang beserta bunganya. Yang ada dalam pikiran masyarakat pada umumnya adalah bagaimana cara agar pemenuhan kebutuhan itu terpenuhi. Sistem pinjam meminjam yang dipakai mayoritas masyarakat Tungkak Sorosutan ini, secara tidak langsung mendorong peneliti untuk menilik strata sosial masyarakatnya. Dan di Tungkak ini golongan menengah kebawah yang mendominasi. Sehingga kemampuan mereka untuk tidak pinjam meminjam uang sangat kecil.
Hal itu karena terbatasnya kemampuan perekonomian masyarakat. Stratifikasi adalah pengelompokan sosial secara vertikal atau bertingkat , dasar yang dilihat dalam stratifikasi sosial adalah : kekayaan , kekuasaan , pendidikan  dan keturunan.
Dalam hal ini , yang  menjadi msalah adalah dalam wujud stratifikasi sosial yaitu ekonomi : kelas atas yaitu terdiri dari kelompok orang-orang yang leluasa dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan secara berlebihan . Kelas menengah yaitu kelompok orang yang berkecukupan , kelas bawah yaitu kelas yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
            Menurut pendapat saya, stratifikasi sosial sangat mempengaruhi masyarakat dalam bidang kekayaan yang kemudian akan menyangkut pada bidang perekonomian , karena banyaknya kebutuhan hidup yang semakin lama, semakin hari semakin banyak .misalnya dalam contoh pada masyarakat di Tungkak Sorotan kerap memakai sistem pinjam-meminjam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena disebabkan oleh banyaknya kaum menengah kebawah pada masyarakat tersebut. Dan adanya pengaruh strata pada masyarakat Tungkak Sorotan, Yang hal itu sangat penting guna mempertahankan status. Pemikiran semacam ini sangat mungkin dipengaruhi paham kapitalisme.
            Solusi kami adalah bagaimana cara masyarakat setempat menghilangkan rasa ingin memiliki sesuatu lebih dari yang lain dengan cara yang tidak baik . Meskipun terdengar biasa, namun kebiasaan meminjam uang yang selalu dilakukan pada masyarakat Tungak Sorotan akan menjadi kebiasaan yang buruk dan mungkin bisa menyusahkan pihak setempat dan mungkin pada masyarakat lainnya juga . Perlu diketahui bahwa dengan meminjam uang untuk menaikkan strata seseorang sama saja dengan memalsukan atau  membeli status. Pemerintah harusnya lebih memperhatikan mengenai pendidikan bangsa Indonesia agar kedepannya dapat mencetak SDA(Sumber Daya Alam) yang berkualitas dan diharapkan akan mengurangi tingkat kemiskinan . Dengan adanya suatu perubahan tersebut, Masyrakat Tungkak Sorotan tidak akan terdorong untuk pinjam-meminjam lagi karena masyrakat tersebut sudah tidak lagi berada pada kaum menengah kebawah (hampir seluruh Masyarakat Tungkak Sorotan berkaum menengah kebawah).

Rabu, 24 November 2010


GUNUNG MERAPI

Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terletak di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
Masyarakat Lereng Merapi Enggan Mengungsi.
Dalam kasus merapi beberapa penduduk sekitar merapi enggan untuk mengungsi karena berbagai macam alasan.Memang semua boleh berpendapat dan beranalisa.
Dari sudut pandang pemerintah: sudah kewajban untuk menyelamatkan rakyatnya.
Dari sudut pandang penduduk sekitar merapi: ada yang beralasan belum mendapat perintah dari penguasa merapi, ini tanah hidup matinya, sudah takdir dsb.
faktor hal tersebut
Dalam kasus merapi beberapa penduduk sekitar merapi enggan untuk mengungsi karena berbagai macam alasan.Memang semua boleh berpendapat dan beranalisa.
- Dari sudut pandang pemerintah: sudah kewajban untuk menyelamatkan rakyatnya..
- Dari sudut pandang penduduk sekitar merapi: ada yang beralasan belum mendapat perintah dari penguasa merapi, ini tanah hidup matinya, sudah takdir dsb.

           
Maka banyak banyak orang yang tidak mengerti mengapa mereka enggan mau mengungsi padahal jelas-jelas bahaya di depan mata. Namun tidaklah bijak jika kita mengkritik tanpa memahami apa sih yang buat mereka bertahan (keyakinan, kepercayaan, budaya?) Memang tidak mudah untuk mengatasi ini. Banyak hal yang harus dimengerti dan dipahami karena mereka penduduk merapi juga punya keyakinan dan kepercayaan yang sudah turun temurun mereka yakini.

Ini tentunya akan menjadi diskusi yang menarik mengingat bangsa kita bangsa yang beraneka ragam kepercayaan dan keyakinan yang luhur warisan nenek moyang yang wajib kita hormati.

Aspek budaya
Selain itu, menurut pengajar Sosiologi Universitas Gajah Mada, Dr Mohammad Supraja, mengatakan bahwa bagi warga Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan yang menjadi sumber nafkah mereka, mulai dari pertanian hingga peternakan.
"Secara kultural ada semacam ikatan kuat antara masyarakat di sana dengan gunung berapi itu karena mereka merasa aman dan nyaman secara ekonomis," ujar Dr Mohammad Supraja kepada BBC Indonesia.
Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian.
"Pemerintah tampaknya tidak siap dalam menampung para pengungsi ini," ujar Dr Mohammad Supraja, "Dari kesaksian keluarga Ponimin yang diwawancara bisa didengar bahwa mereka tidak mengungsi karena melihat fasilitas kamp pengungsi yang tidak bisa memberi kesempatan warga untuk menjalankan kehidupan mereka".
Lokasi yang jauh dari pusat kegiatan inti warga membuat mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan sehari-hari ataupun menjaga harta benda yang ditinggalkan.
Dia menambahkan seharusnya pemerintah sudah memiliki satu rencana yang lebih menyeluruh dan lebih rapih dalam menghadapi satu bencana yang secara ilmiah diketahui akan terjadi.
Status merapi dan mbah maridjan
Status Merapi dinyatakan waspada. Pemerintah pun bertindak dengan mengungsikan para warga yang tinggal di sekitar gunung teraktif di dunia itu. Namun ada satu orang yang tetap bersikukuh tinggal di rumah, Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Padahal rumahnya Dusun Kinahrejo hanya berjarak lima kilometer dari puncak Merapi.
"Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini," kata Mbah Maridjan, Senin 25 Oktober 2010. Meski demikian, pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo ini justru meminta warga menuruti imbauan pemerintah. "Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo," kata dia. Mbah Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian gawat. "Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk," kata dia.
Warga juga diimbau memohon keselamatan pada Tuhan, agar tak terjadi yang tak diinginkan kalau nantinya Merapi benar-benar meletus.Kapan Merapi meletus menurut Mbah Maridjan?
Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi, ia tak punya alat canggih seperti yang dimiliki Badan Vulkanologi. "Hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak punya kuasa apa-apa," jawab dia.
Sikap serupa ditunjukkan Mbah Maridjan ketika Merapi mengalami erupsi pada tahun 2006. Saat itu, ia menolak untuk mengungsi meski dibujuk langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X dan dijemput mobul evakuasi. Pilihan Mbah Maridjan ditanggapi berbeda oleh masyarakat. Ada yang pro dan kontra.
Hari itu Maridjan mengatakan, dia tetap di tinggal di rumah, menepati janjinya terhadap Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengangkatnya. Sambil berdoa untuk keselamatan warga.

Alasan warga enggan mengungsi.
Alasan sebagian warga lereng Merapi tidak bersedia dievakuasi meski status gunung tersebut sudah meningkat menjadi “Awas” karena mereka meyakini belum mendapat perintah mengungsi dari Kiai Petruk, sebagai penguasa gunung Merapi. Mitos tersebut hingga kini begitu diyakini penduduk lereng Merapi, sehingga mereka memilih bertahan di desanya sebelum mendapat perintah dari Kiai Petruk .
Keyakinan penduduk lereng merapi inilah yang menyulut ketegangan dengan petugas evakuasi . Tetapi petugas evakusi berjanji akan memaksa warga untuk segera mengungsi bila kondisi Merapi semakin gawat . Selain menggunakan pendekatan kepada warga, Pemkab Boyolali juga akan mengevakuasi paksa jika warga tetap bersikeras . Saat ini, selain menyiapkan tenda di Lapangan Selo, tim evakuasi juga telah memasang papan petunjuk arah di jalur evakluasi. Hal tersebut merupakan antisipasi jika Merapi meletus, warga pun bisa cepat tiba di pengungsian. Sekitar tujuh ribu warga di tiga desa di kaki Gunung Merapi, menolak dievakuasi ke pengungsian. Tiga desa tersebut adalah Desa Jrakah, Desa Telogo Lele, dan Desa Klakah. Sampai saat ini, baru ada sekitar 2.000 warga dari Desa Kemiren dan Kaliurang, kecamatan Srumbung, Magelang, yang telah bersedia meninggalkan rumah mereka yang berjarak sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi .
Memandu penduduk lereng Merapi 
MERAPI tahun ini menunjukkan kegarangannya kembali. Gunung berapi yang konon teraktif di dunia ini terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanolo - ginya, sehingga statusnya terus dinaikkan, dengan tujuan agar masya rakat di kawasan rawan bencana waspada. Tak cukup dengan hanya mengimbau, pihak berwenang pun terpaksa mengungsikan mereka, meskipun banyak di antaranya yang dilakukan dengan cara dipaksa.
Dengan cara seperti itu pun masih banyak di antaranya yang tetap bertahan, dengan berbagai alasan yang mereka sampaikan. Terlebih salah satu sesepuh yang mereka anggap sebagai juru kunci Merapi ketika itu masih mengatakan bahwa Kyaine (sebutan merapi ala Mbah Marijan) tidak apa-apa dan hanya bernapas serta dhehem-dhehem saja.
Ternyata apa yang diramalkan pihak yang berwenang kali ini benar adanya. Pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2010 Merapi benar-benar meletus. Banyak korban yang lukaluka bahkan meninggal dunia. Banyak pula di antaranya yang menderita sesak napas sebagai akibat debu vulkanik, bahkan satu bayi meninggal dunia akibat debu vulkanik tersebut.
Meski sementara ini Merapi tampak beristirahat, namun penduduk baik yang berada di wilayah Jawa Tengah (Jateng) ataupun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merasa bingung, was-was, dan ketakutan ketika mereka memperoleh berbagai informasi serta melihat gejala peningkatan aktivitas gunung Merapi, terlebih ketika menyaksikan gunung Merapi meletus dan membawa banyak korban jiwa.
Berbagai informasi yang telah mereka peroleh sebelumnya, baik lewat media massa, dari aparat, ataupun komunikasi gethok tular yang sebelumnya sering mereka abaikan, sekarang menjadi kenyataan.
Sebelum Merapi meletus, sebenarnya berbagai penjelasan dari aparat yang berwenang pun telah mereka terima. Bahkan banyak di antara mereka yang telah menuruti saran untuk mengungsi ke tempattempat pengungsian yang disediakan, meski gejala terakhir menunjukkan banyak di antara mereka yang ingin kembali ke kampung halaman dengan berbagai alasan.
Kebanyakan yang masih memilih bertahan yakin bahwa mereka masih merasa aman, terlebih sesepuh mereka ketika itu mengisyaratkan aman. Mungkin, mereka baru akan mengungsi setelah memperoleh aba-aba dari sesepuh seperti Mbah Marijan, serta ada pula yang menunggu wangsit dari penunggu goib dari Merapi. Banyak pula di antaranya mungkin juga berpendapat toh ramalan ilmiah yang mereka sering dengar ketika itu juga belum terbukti, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Setelah melihat kenyataan Merapi akhirnya meletus dan membawa banyak korban, maka pertanyaannya, mengapa sebahagian penduduk lereng merapi memilih bertahan dan yang semula telah mengungsi juga banyak yang ingin kembali dengan berbagai alasan, padahal gejala alam yang ditunjukkan Merapi ketika itu makin mengkhawatirkan?
Adakah jalan keluar yang baik sekaligus akan dituruti penduduk lereng merapi di masa yang akan datang, sehingga bila Merapi benar-benar meletus seperti yang baru saja terjadi, maka korban manusia bisa seminim mungkin atau bahkan tidak ada?
Kepastian
           
Melihat gejala masih banyaknya penduduk yang memilih bertahan dan yang meninggalkan pengungsian kembali ke kampung halaman dengan berbagam alasan, bila kita lihat dari sisi komunikasi tampaknya hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian (enthropy) kapan Merapi akan meletus. Bila dikaitkandengan Teori Enthropy yang menyebutkan bahwa informasi akan dianggap informatif bila mampu menghilangkan ketidakpastian, tampaknya pada kasus gejala akan meletusnya Merapi hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan.
            Kenyataan telah menunjukkan kondisi alam Merapi masih berubahrubah. Berbagai ramalan yang selama ini telah banyak terlontar baik lewat media ataupun komunikasi lainnya ketika itu juga belum terbukti.
Padahal banyak para ahli sosiologi yang menyebutkan bahwa masyarakat akan lari ke sesuatu yang berkait dengan masalah gaib/mistik, bila mereka sedang menghadapi ketidakpastian, termasuk tentang kapan Merapi akan meletus, seberapa besar letusannya, termasuk wilayah yang terkena dampaknya.
Melihat gejala ini, tak mengherankan bila masih ada penduduk yang tinggal di wilayah tertentu yang jelas sangat rawan bahaya, memilih bertahan, karena mereka merasa yakin bahwa dampak letusan tidak akan menimpa wilayah mereka. Celakanya, ketika banyak di antara mereka yang telah mau mengungsi, mungkin mereka merasa pelayanan yang diterima kurang memadai, sehingga mereka menjadi jenuh dan banyak di antaranya yang ingin kembali pulang.
Karena ketidakpastian, pelayanan, dan kejenuhan itu tampaknya yang jadi masalah, maka di masa yang akan datang pihak yang berwenang hendaknya memfokuskan perhatian untuk bisa mengatasi hal tersebut. Kita yakin bahwa pihak yang berwenang tentu menginginkan minimnya jumlah korban bila sampai Merapi benar-benar meletus seperti yang terjadi belum lama ini. Penduduk lereng Merapi pun sebenarnya juga berkeinginan demikian.
Karena itu jalan bijaksana yang harus diupayakan pihak berwenang adalah menyediakan sarana serta prasarana yang memadai. Ke depan, jangan lagi terdengar masyarakat terpaksa secara swadaya memperbaiki jalur evakuasi yang rusak misalnya.
Begitu pula dengan tempat pengungsian yang memadai, sekaligus memberikan kegiatan terhadap para pengungsi, agar mereka tidak merasa jenuh. Ini perlu dilakukan dengan serius, mengingat pengungsi Merapi akan tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama, setidaknya sejak Merapi belum meletus, hingga setelah meletus.
Melalui kerjasama dengan media massa serta berbagai pihak secara terpadu, maka informasi yang diterima penduduk lereng merapi dapat disaring. Ini penting mengingat bila setiap informasi dibiarkan masuk sehingga banyak yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan, akan membingungkan masyarakat sekaligus menyebabkan munculnya ketidakpastian.
Selain itu, perlu dilakukan pendekatan dengan para sesepuh yang dianggap menjadi panutan penduduk, selanjutnya kepada mereka diajak dialog dengan menggunakan bahasa serta budaya beserta keyakinan yang mereka miliki, sehingga diharapkan akan tercapai kesepahaman, terutama menyangkut keselamatan jiwa penduduk. Ini perlu dilakukan, karena sebenarnya tujuan antara pihak berwenang dengan para sesepuh itu sama yaitu keselamatan dan kesejahteraan penduduk.
Mungkin saja selama ini bahasa birokratis dan ilmiah yang banyak digunakan, sehingga sangat sulit dimengerti oleh para sesepuh, sehingga seolah mereka terkesan abai, padahal sebenarnya bukan demikian yang dikehendaki para sesepuh tersebut. Karena itu komunikasi manusiawi dengan memanfaatkan bahasa budaya, diharapkan akan mampu menghilangkan stereo types sekaligus prejudice di antara ke dua belah pihak karena tujuannya sebenarnya sama.
Kita lalu ingat berbagai program pemerintah yang pernah dilakukan bersama-sama dengan para pemuka masyarakat, seperti transmigrasi bedhol desa yang ada di Watukelir ketika waduk Gajah Mungkur akan dibangun, yang berhasil mengatasi keengganan masyarakat untuk bertransmigrasi, karena kelekatan baik dengan tanah kelahiran ataupun dengan para sesepuh desanya.
Meski tidak mungkin sama, karena kasusnya sangat berbeda, namun setidaknya hal semacam itu pantas kita pikirkan. Kejelasan serta kelengkapan informasi yang diterima penduduk, dukungan para sesepuh, serta tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di tempat pengungsian, tampaknya merupakan alternatif yang memadai, sehingga penduduk lereng Merapi akan terpandu menuju sebuah solusi yang aman, nyaman, sekaligus terhindar dari menjadi korban yang siasia.
Solusi untuk menaggulangi masyarakat yang enggan mengungsi.
            Pertama-tama kita harus meyakinkan dahulu mereka kalau daerah trsebut masih blum benar-benar aman. Karena gunung merapi sekarang terlihat sedang beristrirahat, tetapi kita jangan lengah terhadapnya yang masih berstatus awas. Sewaktu-waktu gunung tersebut dapat meletus bahkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya.
            Pemerintah juga harus memadai posko-posko pengungsian, bahan pangan, sandang, obat-obatan, dan peralatan-peralatan yang cukup agar pengungsi merasa nyaman, aman, dan tidak kembali k rumah mereka yang berada d radius berbahaya.
            Bagi saudara-saudara ydi Indonesia yang mampu untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana ala mini, di mohon bantuannya. Karena bantuan apapun yang saudara berikan akan sangat berarty bagi mereka dan dapat juga membuat mereka enggan kembali k rumah mereka. Jadi solusi- solusi seperti inilah yang bisa kita lakukan untuk membuat para korban merapi enggan kembali k rumahnya yang berada dalam radius berbahaya.